DEM Interferometri Menggunakan Sentinel 1 SAR Data (Eksperimen)
Sudah lama sekali saya tidak memperbarui
blog ini dengan sebuah tulisan, dan kali ini ada sebuah momen yang saya rasa
penting untuk saya tulis. Selain untuk arsip dari apa – apa yang telah saya
pelajari, barangkali bisa bermanfaat juga untuk anda pembaca.
Tulisan ini bermula dari ketertarikan saya
mengikuti kurus penginderaan jauh radar/gelombang mikro yang diadakan oleh ESA
(European Space Agency) dalam format online dengan judul ECHOES IN SPACE.
Kursus ini gratis dan dapat diikuti siapa saja yang telah memiliki basic
pengetahuan penginderaan jauh (cek link INI untuk berpartisipasi).
Dari kursus ECHOES IN SPACE, pengetahuan
penginderaan jauh system radar/SAR saya jauh meningkat, terutama tentang konsep
– konsep teoritisnya, dan hubungannya dengan aplikasi praktisnya. Selama ini
memang saya lebih banyak berkutat di penginderaan jauh system optik, dan jarang
berkutat di Gelombang Mikro. Meskipun beberapa praktek teknis Radar seperti
pembuatan komposit multipolarisasi, geocoding, terrain correction, bahkan interferometry
sudah pernah saya pelajari, tetapi tanpa pengetahuan teoritis yang cukup,
sehingga comprehensive view-nya tidak saya dapat.
Dalam tulisan ini, saya hanya akan
merangkum sedikit pembelajaran tentang interferometri untuk pembuatan DEM
sebagai follow up dari kursus tersebut. Bagi anda yang ingin belajar tentang
interferometri, setidaknya anda harus paham bagaimana system SAR bekerja, apa
itu phase, apa itu koherensi/korelasi dan inkoherensi/dekorelasi. Dan apa itu
perpendicular baseline.
Interferometri untuk pembuatan DEM yang
baik memerlukan interferogram dengan koherensi antar pasangan citra SAR yang
baik (nilai di atas 0,5). Koherensi yang tinggi berarti factor penutup lahan
tidak berpengaruh terhadap hamburan balik (backscatter) sinyal RADAR (baik
amplitude maupun phasenya). Yang berpengaruh hanya medan (terrain) dan
dinamikanya (misalnya deformasi, longsor, dll). Koherensi sebesar ini hanya
akan didapat dari citra dengan resolusi temporal sesingkat mungkin. Perbedaan
lebih dari tiga hari antar pasangan citra akan terpengaruh oleh dinamika
penutup lahan dan pada akhirnya akan merubah karakteristik fase dari
backscatter.
Oleh karena itu, tidak heran apabila dari
berbagai satelit SAR yang pernah diluncurkan, tidak banyak yang memenuhi syarat
untuk digunakan dalam interferogrametri DEM. Contoh yang sukses dan mencapai
tahap operasional dalam ekstraksi DEM hanya misi SRTM (airborne SAR dengan dua
antenna melalui konfigurasi along track interferometry) dan konstelasi
TERRASAR-X dan TANDEM-X (spaceborne SAR dengan dua wahana melalui konfigurasi
across track interferometry). Kedua misi tersebut memiliki resolusi temporal
yang baik sehingga koherensi maksimal bisa didapat.
Selain itu, interferometry juga tidak bisa
diaplikasikan pada pasangan citra dari mode perekaman yang berbeda (ascending
dan descending pass). Hal ini dikarenakan pada mode ascending dan descending
efek layover/shadow/foreshortening antar citra memiliki arah yang
berbeda,sehingga tidak dapat dikoherensikan.
Kata – kata diatas dapat saya rangkum
setelah saya melakukan eksperimen interferometry menggunakan data SAR Sentinel
1 Interferometric Wide Mode dengan level pemrosesan SLC (single look complex)
data. Software yang digunakan adalah ESA SNAP dan SNAPHU yang paling umum
digunakan untuk interferometry berbasis perangkat lunak open source. Data SLC
Sentinel 1 saya dapat dari aplikasi VERTEX milik Alaska Satellite Facility.
Saya memilih layanan VerteX karena layanan ini menyediakan baseline tool untuk
melakukan cek baseline sebelum data diunduh. Jadi saya bisa mencari pasangan
data SAR dengan resolusi temporal sesingkat mungkin, dengan perpendicular
baseline sependek mungkin.
Tahapan proses interferometry untuk
pembuatan DEM dalam ESA SNAP yang saya lakukan adalah seperti gambar di bawah
ini.
Proses diawali dengan pemilihan area yang
akan diproses. Dalam hal ini kita tidak bisa menggunakan tool subset karena
akan menghilangkan informasi – informasi pendukung untuk interferometri. Yang
kita gunakan adalah perintah S1 TOPS SPLIT, dimana disini kita bisa memilih Sub
swath dan Burst yang meliput wilayah yang akan dikaji. Selain itu kita juga
bisa memisahkan polarisasi, karena untuk interferogrametri hanya satu
polarisasi yang dipakai (Untuk SENTINEL yang dipakai adalah VV).
Langkah berikutnya adalah APPLY ORBIT FILE,
untuk memperoleh informasi geometry satelit yang digunakan dalam perhitungan
interferogram. ESA SNAP hanya mendukung ORBIT untuk satelit yang mereka
luncurkan seperti ERS, ENvISAT dan Sentinel, oleh karena itu untuk satelit lain
seperti PALSAR, RADARSAT, JERS, langkah ini agak tricky di SNAP.
Proses berikutnya adalah BACK GEOCODING
untuk meregistrasikan pasangan citra dalam kerangka orbit yang sama. Proses
dilanjutkan dengan INTERFEROGRAM FORMATION untuk memperoleh interferogram dari
pasangan citra. Selain interferogram, proses ini juga akan memberikan output
citra koherensi untuk memperoleh informasi sebaran koherensi dalam liputan
citra.
Next step adalah DEBURST. DEBURST dilakukan
karena perekaman Sentinel 1 series menggunakan sistem subswath dan burst,
sehingga menyebabkan adanya gap antar burst yang harus dikoreksi sebelum proses
interferometri dilanjutkan.
Tahap berikutnya adalah PHASE FILTERING
menggunakan GOLDSTEIN FILTERING. Tahap ini dilakukan untuk mengurangi
fringe/artifak dan noise dari interferogram yang disebabkan oleh gangguan
atmosfer maupun inkoherensi fase.
Hasil dari PHASE FILTERING kemudian
dieksport ke format ENVI untuk diolah menggunakan software SNAPHU untuk
melalukan PHASE UNWRAPPING. Hasil PHASE UNWRAPPING kemudian diimport kembali ke
SNAP untuk diintegrasikan dengan data lain. Hasil UNWRAPPING kemudian dapat
dikonversikan menjadi DEM melalui operasi PHASE TO HEIGHT atau PHASE TO
ELEVATION.
Eksperimen saya lakukan dua kali. Yang
pertama menggunakan pasangan data SENTINEL 1A IW SLC dengan selisih waktu 26
hari, dan yang kedua kombinasi pasangan data SENTINEL 1A IW SLC dan SENTINEL 1B IW SLC dengan
selisih waktu perekaman 5 hari. Hasil eksperimen yang pertama sangat jelek
karena koherensinya rendah. Sementara hasil eksperimen kedua sudah mulai
menunjukkan hasil yang lumayan karena koherensi meningkat sebagai efek dari
peningkatan resolusi temporal. Hanya hasilnya tetap saja jelek (tapi lumayan
daripada eksperimen pertama). Koherensi yang jelek terutama pada area penutup
lahan vegetasi lebat dan lahan pertanian yang cepat berubah karakteristik
backscatternya sebagai akibat volume scattering. Backscatter yang konsisten
ditemui terutama pada penutup lahan tanah terbuka dengan karakteristik specular
scattering yang konsisten dan penutup lahan terbangun dengan karakteristik
multiple bounce scattering.
Final Words : waiting Sentinel 1C dan 1D
diluncurkan dan eksperimen akan dilanjutkan. TerraSAR X dan Tandem X mihil dan
susah didapat. :D
Sedikit Update Tanggal 15 Maret 2020, saya telah membuat video tutorial contoh interferometri DEM creation menggunakan data yang merekam daerah gurun pasir (desert area) di bawah ini.
Sedikit Update Tanggal 15 Maret 2020, saya telah membuat video tutorial contoh interferometri DEM creation menggunakan data yang merekam daerah gurun pasir (desert area) di bawah ini.
Comments
Post a Comment